Beranda | Artikel
Kafir, Musyrik Dan Pelaku Maksiat Adalah Jahil
Kamis, 1 September 2016

KAFIR, MUSYRIK DAN PELAKU MAKSIAT ADALAH JAHIL [1]

Ilmu adalah salah satu penyebab utama bertambahnya iman seseorang. Sebaliknya, kejahilan atau kebodohan adalah faktor utama melemahnya iman seseorang. Jika ilmu merupakan sumber segala kebaikan maka lawannya yaitu kejahilan adalah sumber segala kejelekan dan keburukan.

Seorang Muslim yang berilmu tidak akan lebih memperioritaskan kecintaan atau perbuatan yang mendatangkan bahaya atau yang membuatnya menderita di atas kecintaan atau perbuatan yang membuahkan manfaat atau keberhasilan. Namun tidak demikian dengan orang yang jahil, karena ketidaktahuannya, terkadang dia lebih mengutamakan sesuatu yang mendatangkan keburukan daripada yang membuahkan kebaikan. Penyebabnya adalah tolok ukurnya yang terbalik atau dia tidak memiliki gambaran yang jelas tentang sesuatu yang dia lakukan. Berdasarkan ini, bisa dikatakan, ilmu itu adalah sumber segala kebaikan, sebaliknya, kebodohan atau kejahilan adalah sumber segala keburukan.

Penyebab utama dari adanya orang yang suka melakukan tindak kezhaliman, permusuhan, berbagai perbuatan keji serta perbuatan maksiat lainnya adalah kejahilan atau kerusakan ilmu atau rusaknya niat dan tujuan. Kerusakan niat termasuk kerusakan ilmu. Akhirnya kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa kejahilan dan kerusakan ilmu merupakan penyebab utama melemahnya iman seseorang juga rusaknya prilaku seseorang.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Ada yang mengatakan bahwa kerusakan niat itu berpangkal pada kerusakan ilmu. Jika seseorang itu mengetahui bahaya yang mengintai juga berbagai konsekuensi buruk lainnya dari sesuatu yang berbahaya, maka pasti dia tidak akan memprioritaskan sesuatu yang berbahaya itu untuk dirinya. Orang yang mengetahui bahwa makanan yang lezat itu (misalnya-red) telah ditaburi racun, maka pasti tidak akan berani melahapnya. [Namun karena dia tidak tahu, akhirnya dia pun merasakan akibat buruknya. –red].

Jadi, lemahnya pengetahuan seseorang terhadap keburukan sesuatu yang berbahaya atau lemahnya kemauan seseorang untuk menjauhi suatu yang berbahaya itu menyebabkan dia terjerumus padanya.

Oleh karena itu iman yang benar akan menghantarkan seseorang untuk melakukan segala yang bermanfaat untuk dirinya dan meninggalkan segala yang mendatangkan keburukan atau bahaya. Jika dia tidak melakukan yang pertama juga tidak meninggalkan yang kedua, berarti keimanannya belum benar. Namun dia masih memiliki keimanan seukuran (realisasi kedua hal-red) di atas. Orang yang mengimani keberadaan neraka dengan benar sampai (tingkatan) seakan-akan dia pernah melihatnya, (bisa dipastikan-red) dia tidak akan menempuh jalan yang berpotensi mengantarkan dia ke neraka. Menempuh saja tidak, apalagi berusaha keras untuk berada di atas jalan itu, (tentu lebih tidak mungkin  lagi.-red). Orang yang mengimani keberadaan surga dengan keimanan yang benar, maka jiwanya tidak akan mentolerir dia untuk berhenti berusaha menggapai surga. Masalah atau perasaan seperti ini sudah dirasakan umat manusia dalam dirinya, saat berusaha meraih segala yang bermanfaat (bagi dirinya) di dunia atau saat berusaha melepaskan dirinya dari bahaya.”[2]

Jadi, penyebab seseorang itu menginginkan atau melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya dan tidak bermanfaat adalah kebodohannya atau ketidaktahuannya terhadap bahaya yang mengintainya. Oleh karena itu, barangsiapa merenungi al-Qur’an al-Karim dia akan mendapati isyarat yang sangat jelas bahwa kebodohan merupakan pangkal segala dosa dan perbuatan maksiat.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ ۚ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ

Bani lsrail berkata, “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” Musa menjawab, “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Rabb).” [al-A’râf/7:138]

Juga dalam firman-Nya:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ ﴿٥٤﴾ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ

Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia Berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (keji) itu sedang kamu memperlihatkan(nya)?” “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)”. [an-Naml/27:54-55]

Juga dalam firman-Nya:

قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ

Katakanlah, “Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allâh, Hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?” [az-Zumar/39:64]

Dan masih banyak lagi nash-nash lainnya yang menunjukkan bahwa penyebab utama segala keburukan yang dilakukan oleh umat manusia seperti perbuatan syirik, kufur, perbuatan keji dan beragam perbuatan perbuatan maksiat lainnya adalah kebodohan atau ketidaktahuannya terhadap Allâh Azza wa Jalla , Nama-nama serta sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla juga ketidaktahuannya terhadap balasan pahala dan siksa dari Allâh Azza wa Jalla .

Oleh kerena itu, (bisa dikatakan), bahwa semua orang yang berbuat maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla atau yang melakukan berbagai perbuatan dosa adalah orang bodoh atau jahil. Keterangan ini bisa didapatkan dari perkataan pada ulama salaf ketika menjelaskan tentang firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَٰئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Sesungguhnya taubat di sisi Allâh hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allâh taubatnya; dan Allâh Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [an-Nisâ’/4:17]

Juga yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-An’âm ayat ke-54 juga yang terdapat Surat an-Nahl ayat ke-119.

Firman Allâh Azza wa Jalla “bi jahâlatin” dalam ayat-ayat di atas bermakna ketidaktahuan para pelaku terhadap akibat (buruk)nya juga ketidaktahuan mereka akan (efek buruk dari perbuatan itu-red) yang menyebabkan Allâh Azza wa Jalla murka dan mendatangkan siksa. Dia juga tidak tahu bahwa Allâh Azza wa Jalla selalu melihatnya dan mengawasinya. Dia juga tidak tahu bahwa itu akan mengurangi bahkan bisa menghilangkan keimanannya. Jadi semua pelaku maksiat itu adalah orang jahil terhadap masalah-masalah ini, meskipun dia mengetahui hukum haramnya. Bahkan (na’udzu billâh) tahunya dia terhadap hukum haram sebuah perbuatan menjadi syarat perbuatannya digolongkan kedalam perbuatan maksiat yang berkonsekuensi siksa.

Penafsiran seperti di atas diriwayatkan dari sekelompok Ulama salaf, sebagiannya disebutkan ath-Thabari t dalam kitab tafsirnya.

  • Diriwayatkan dari Abul Aliyah bahwa beliau rahimahullah mengatakan bahwa para Shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengatakan, “Semua dosa yang menimpa seseorang disebabkan kebodohannya.”
  • Dari Qatâdah, beliau rahimahullah mengatakan, “Para Shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumpul dan memandang bahwa bahwa segala perbuatan maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla adalah kebodohan, sengaja ataupun tidak.”
  • Mujâhid rahimahullah mengatakan, “Semua orang yang mendurhakai Rabbnya adalah orang jahil. (Dia akan tetap menjadi orang jahil) sampai dia berhenti dari perbuatan maksiatnya.”
  • As-Suddi rahimahullah mengatakan, “Selama dia masih berbuat maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla berarti dia orang jahil.”
  • Ibnu Zaid rahimahullah mengatakan, “Semua orang yang melakukan perbuatan maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla berarti dia orang jahil selamanya, sampai dia berhenti dari perbuatan maksiatnya itu.”

Jadi, kejahilan atau kebodohan atau ketidaktahuan seseorang terhadap Allâh Azza wa Jalla merupakan penyakit berbahaya yang mematikan. Dia akan mendatangkan kecelakaan dan keburukan yang bertubi-tubi kepada orangnya. Ketika penyakit ini sudah mendekam dan menguasai raga seseorang, maka jangan lagi kita menanyakan tentang kecelakaan dan kebinasaan yang akan menimpanya. Dia akan tenggelam dalam kubangan maksiat dan dosa, berpaling dari jalan yang lurus (yaitu Islam-red), tunduk dan mengekor pada tuntutan nafsu syahwat dan syubhat. Dia akan terus seperti itu, terkecuali jika Allâh Azza wa Jalla melimpahkan rahmat-Nya kepada orang itu dengan memberikannya hati yang bercahaya dan kunci kebaikan, ilmu yang bermanfaat yang melahirkan amal shalih. Karena tidak ada obat dari penyakit berbahaya ini selain ilmu. Penyakit ini tidak sirna dari seseorang sampai Allâh Azza wa Jalla menganugerahkan ilmu kepadanya tentang sesuatu yang bermanfaat untuk dirinya dan memberikannya petunjuk. Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allâh Azza wa Jalla , Dia akan mengajarinya ilmu tentang sesuatu yang bermanfaat dan bisa mendatangkan kesuksesan dan kebahagiaan. Dengan anugerah ini, dia akan terbebas dari kebodohan yang selama ini membelenggu dirinya. Sebaliknya, jika tidak dikehendaki baik, maka dia akan tetap dibiarkan terbelenggu dalam kebodohan.

Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menganugerahi kita keimanan dan ilmu yang bermanfaat dan semoga Allâh Azza wa Jalla melindungi kita dari kebodohan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVIII/1435H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] Diangkat dari Ziyâdatul Îmân wa Nuqshânuhu wa Hukmul Istitsnâ’ fîhi, Syaikh Abdurrazaq hafizhahullah, hlm. 148-151
[2] Ighâtsatul Lahfân, 3/133


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/5648-kafir-musyrik-dan-pelaku-maksiat-adalah-jahil.html